Tuesday 12 July 2011

Semangat Kardinah untuk Batik Tegalan

BAGI masyarakat Tegal dan sekitar, mendengar nama Kardinah, tentu ingat sebuah rumah sakit milik Pemerintah kota Tegal yang dibangun oleh RA Kardinah, istri Bupati Tegal, RM Adipati Ario Reksonegoro yang menjabat pada 1908-1936. Sedikit sekali orang yang mengetahui Kardinah juga membangun Sekolah Kepandaian Putri, untuk gadis pribumi ‘’Wismo Pranowo’’.
Batik Tegal
Di dalam sekolah tersebut, Kardinah selain memberi pelajaran setara dengan Sekolah Pribumi Kelas Dua pada masa pemerintah Belanda, juga memberi pelajaran praktik membatik. Ada fasilitas untuk membatik seperti gudang dan los untuk penyelesaian hasil-hasil pembatikan dengan soga (warna merah untuk batik) dan wedel (warna hitam untuk batik).

Kota-kota yang kita ketahui sebagai penghasil batik di Jawa telah banyak diketahui masyarakat secara luas, baik corak maupun motifnya. Karena itu kita sering luput mengamati kebudayaan daerah-daerah lain yang juga memiliki kreativitas dalam seni membatik. Tegal merupakan salah satu contoh kota penghasil batik yang cukup menarik untuk dikaji. Bukan saja motif dan coraknya yang berbeda dari batik kota-kota lain, namun prilaku pembatik juga cukup menarik.
Mereka membuat batik hanya untuk kebutuhan keluarga, terutama bila akan mempunyai hajat seperti perkawinan dan sunatan. Batik merupakan sumbangan yang berharga bagi acara-acara penting dalam keluarga. Mereka secara tidak sadar memosisikan batik sebagai hasil karya seni yang nilainya tidak terukur. Kondisi ini dapat disaksikan di daerah-daerah perajin batik seperti Kalinyamat Wetan dan kelurahan Bandung Kecamatan Tegal Selatan.
Mirip Motif Keraton Walupun perkembangan batik Tegal berawal dari apa yang dilakukan pengawal raja Mataram Amangkurat Pertama yang mengungsi ke Tegal. Ini yang barangkali mengapa motif batik Tegal mirip dengan batik keraton yakni didominasi warna hijau dan kecokelatan.
Namun perkembangan berikutnya, para pembatik di kota ini, memberi motif batik dari flora dan fauna. Para pembatik berekspresi tanpa beban makna dan kegunaan. Perubahan corak, motif, dan dominasi warna batik Tegal tidak lepas dari pengaruh Kardinah.
Warna batik Tegal pertama kali sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Motif-motif batik Tegal, mempunyai kekhasan, berbeda dengan daerah lain, sesuai dengan kondisi lingkungan si pembuatnya. Motifnya lebih bersifat ekspresi pembatiknya dalam merespons lingkungan, atau alam sekitar, flora dan fauna.
Di Tegal kita mengenal motif dapur ngebul, gribikan, cempaka putih, gruda (garuda), kawung, tapak kebo, semut runtung, sawatan, tumbar bolong, kawung, blarak sempal, kuku macan, beras mawur, ukel, batu pecah, kotakan, cecek awe, tambangan, grandilan, sawo rembet, buntoro, karung jenggot, kopi pecah, corak daun teh, poci, benang pedhot, mayang jambe dan corak lainnya.
Walaupun secara geografis Tegal lebih dekat dengan Cirebon atau Pekalongan, tetapi motif-motif batik Tegal lebih ada kemiripan dengan batik Lasem, daerah yang tidak jauh dari tempat kelahiran Kardinah (Jepara). Batik Lasem dikenal dengan warna merahnya yang khas, seperti warna merah darah, dan tidak bisa ditiru perajin batik kota lain. Motif batik Lasem yang mirip dengan batik Tegal yaitu  motif ‘’bunga batu pecah’’. Baik motif, corak, warna maupun isen-isen-nya hampir sama dengan batik Tegal motif ‘’tumbar bolong’’. Motif flora dan fauna Lasem mirip dengan batik Tegal, terutama pada isen-isen-nya.
Batik sangat dipengaruhi oleh pembuatanya, demikian pula Kardinah, dia lebih suka warna soga dan hitam, dan itulah yang kemudian dibawa ke Tegal, sehingga walupun batik Kardinah ‘’diilhami’’ oleh batik Lasem, namun yang dikembangkan di Tegal berbeda dari batik Lasem. Pada 1908 Kardinah pindah ke Tegal karena mengikuti suaminya, Bupati Reksonegoro.
Sejak tahun itu pula Kardinah mengajari membatik bagi anak-anak wanita di lingkungan pendopo. Kebiasaan Kardinah membatik dilakukan sejak kecil. Bersama kakak-kakaknya, Kartini dan Roekmini. Kardinah sering membatik  di serambi belakang kabupaten Jepara.
Mereka bertiga yang dikenal sebagai Tiga Serangkai ini memiliki kegemaran memakai kain batik hasil buatan sendiri. Dalam buku hariannya tertanggal ‘’Depok, September 1900’’ Dr N Andrian, seorang Indolog menulis tentang pertemuannya dengan Kartini, Kardinah dan Roekmini di Batavia, antara lain, bahwa mereka bertiga sama: berkebaya sutra putih berbunga-bunga jambu, berkonde dan berkalung emas tipis pada leher mereka, yang membuat mereka menjadi begitu cantik, dan ketiga-tiganya mengenakan sarung batik indah, buatan sendiri, bernawarna cokelat memikat (Surat, 6 November 1899, kepada Estella Zeehandelaar).
Buatan Sendiri Kardinah demikian pula kakak-kakaknya Kartini dan Roekmini, sebenarnya secara praktis telah tinggalkan kebangsawanannya, dan menjadi pekerja biasa di dalam kabupaten: membatik, mengurus kebun, menjadi koki, merawat keluarga yang sakit, dan sebagainya pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan oleh anggota-angota keluarga bangsawan tinggi.
Kardinah dan saudari-saudarinya selalu mengenakan sarung batik buatan sendiri, bukan karena dengan demikian ia bisa pamer secara murah tentang kecakapannya membatik, tetapi dan terutama sekali untuk membanggakan keunggulan seni rakyat pribumi yang sejauh itu belum dikenal dan belum ditandingi oleh negeri manapun.
Kebanggaan itulah yang kemudian ditularkan kepada masyarakat Tegal lewat  sekolah Wismo Pranowo.
Upaya Kardinah dalam memperkenalkan hasil karya batik anak-anak didiknya bukan saja untuk dipakai sendiri tetapi juga dipamerkan.  Tiap tahun suaminya bersama dengan guru-guru Wismo Pranowo menyelenggarakan pasar malam di alun-alun Tegal. Bersama dengan Perkumpulan Kesenian Hindia cabang Tegal mengadakan pameran di Pekalongan dan Cirebon (Surat-surat Adik RA Kartini, Frits GP Jaquet 2005: 273).
Batik Tegal sudah berabad lamanya dikenal di kota-kota besar di Indonesia. Pengenalan batik Tegal tidak lepas dari perjuangan Kardinah. Bersama kakaknya, Kartini dan Roekmini, Kardinah berupaya meningkatkan derajat dan peradaban rakyat Indonesia.
Pikiran-pikiran dan kegiatan Tiga Serangkai ini mengilhami pergerakan nasional yang ditandai dengan berdiri Budi Utomo pada 1908. Sebelum ikrar Sumpah Pemuda 1928, mereka juga telah menggalang persatuan dalam ‘’perkumpulan’’ Jong Java. (35)
— Yono Daryono, aktivis budaya, tinggal di Tegal

Sumber:


http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/07/22/73377/Semangat.Kardinah.untuk.Batik.Tegal
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/30/291/si_jarik_cantik
http://batik-tegalan.com
http://infotegal.com/2011/01/raden-ajeng-kardinah/